The Phenomenal : Pee Wee Gaskins

Foto : Fahmi Dorkszilla Bojonegoro

Band pop punk fenomenal yang sukses tanpa dukungan major label dan sangat digandrungi sekaligus dibenci


Setahun belakangan ini merupakan tahun gemilang sekaligus tahun paling menyerempet bahaya bagi kuintet pop punk ibukota, Pee Wee Gaskins. Jika ada anak muda jaman sekarang yang tak tahu Pee Wee Gaskins, atau tidak pernah mendengar namanya, dapat dipastikan mereka adalah kuper.


Hebatnya, sebagai band yang sama sekali tidak berada di bawah major label, prestasi yang me-reka torehkan terbilang fenomenal. Kepo-puleran mereka capai sendiri dengan bekerja keras dan berkat kegigihan mereka bersenggama dengan Internet selama 24 jam sehari!

“Dulu kami sering berbagi waktu 12 jam nongkrongin Internet. Doci jaga saat shift tengah malam sampai siang saat bule di sana sedang online, sementara shift siang sampai malam pas anak-anak di Indonesia lagi online, gue yang jaga,” jelas Aldykumis, pemain drum Pee Wee Gaskins.

Hasilnya, menurut statistik, lagu-lagu di akun MySpace mereka total telah didengar lebih dari 1.924.025 kali, belum termasuk hampir dua juta kali akun tersebut diakses publik. Sementara fanbase mereka di Facebook telah mencapai 386.992 orang dan terus bertambah banyak setiap harinya. Selama lebih dari setahun single mereka juga bertengger di chart jejaring sosial musikal terkemuka Asia Tenggara, Amp Channel [V].

Band ini awalnya merupakan proyek solo akustik Dochi, setelah mundur sebagai gitaris The Side Project, yang awalnya iseng me-rekam salah satu lagu karangannya sendiri ke dalam format band. Nama Pee Wee Gaskins sendiri sebenarnya merupakan nama seorang pembunuh berantai terkenal asal North Carolina, Amerika Serikat, yang diduga telah membunuh sekitar 100 orang sejak awal 1970-an.

Selama tiga tahun sejak mereka berdiri di bulan April 2007 Pee Wee Gaskins telah me-rilis satu album mini dan satu album penuh. CD debut mereka yang bertitel Stories From Our High School Years (2008) dalam waktu supersingkat terjual 2000 keping sementara CD album penuh yang bertitel The Sophomore (2009) hingga kini mencetak angka penjualan lebih dari 20.000 keping. Di tengah lesunya bisnis rekaman fisik, angka tersebut bukan tergolong kecil. Ini belum terhitung ribuan merchandise mereka yang laku keras dalam waktu yang cepat pula di berbagai distro.

Fenomena Pee Wee Gaskins yang besar di jalur indie dengan cepat direspon berbagai stasiun radio serta stasiun televisi nasional. Mereka seperti tersentak dengan besarnya fanbase dan potensi pasar yang dimiliki band ini. Semua berlomba-lomba memutar lagu dan menampilkan mereka di berbagai program musik harian televisi seperti Dahsyat, Inbox dan sebagainya.

Manuver yang dilakukan band indie ini sempat membuat beberapa major label internasional tertarik merekrut mereka, namun mereka akhirnya lebih memilih bekerjasama dengan minor label seperti Variant Records dan kini, Alfa Records.

“Kami ingin menunjukan kalau kami bukan band yang dibentuk label. Kalau nanti kami berubah memang karena kesadaran sendiri, bukan karena diarahkan. Kami ingin ada sisi lain dari Pee Wee Gaskins yang tetap kami pertahankan yaitu do it yourself dan be yourself,” jelas Dochi, pendiri sekaligus gitaris/vokalis Pee Wee Gaskins.

Akhirnya, pengakuan media bagi band ini pun mulai bergulir. Penghargaan dari majalah HAI sebagai “The Best Indie Band” hingga penghargaan MTV Indonesia 2009 sebagai “The Best Cutting Edge Artist” pun mereka dapatkan.

Namun sialnya, semakin besar band ini berkembang, semakin besar pula level ancaman dan kebencian yang mereka dapatkan. Hampir di setiap panggung, Pee Wee Gaskins menerima hujatan dan gempuran timpukan batu dari ratusan pembenci mereka yang menamakan diri sebagai komunitas Anti Pee Wee Gaskins (APWG). Komunitas pembenci ini, jika ditilik via Facebook, berjumlah cukup banyak dan tersebar mulai dari Jakarta, Sukabumi, Bogor, Bandung, Majalengka, Kediri, Pontianak hingga Manado.

Hujan batu paling gencar yang menimpa mereka terjadi di festival Soundrenaline 2009 di GWK, Bali. Saat itu mereka tampil di bawah tekanan besar ribuan penonton yang meminta mereka turun dan terus menimpuki dengan batu, botol, sandal hingga ember. Mereka akhirnya survivehingga lagu terakhir walau gempuran deras terus menimpa.

“Sebelumnya di Bali ada yang menyebar gosip bahwa kami bermusuhan dengan Superman Is Dead, menghina orang Bali yang menyembah batu dan disebut pernah memainkan cewek Bali,” jelas Dochi.

Ancaman demi ancaman tak hanya dialami langsung oleh Dochi, gitaris/vokalis Sansan, pemain moog/synths Omo, Aldykumis dan pemain bas Eye, namun juga terhadap Party Dorks, julukan bagi penggemar mereka. Ada yang sempat ditodong pisau, dikejar-kejar bagai pesakitan saat menyaksikan band idola mereka tampil hingga mobil angkot yang di-sewa sempat dipecahkan seluruh kacanya oleh gerombolan APWG.

“Pernah setelah tampil di sebuah acara kami terlibat kontak fisik dengan APWG. Kami bersembilan melawan tiga puluh orang APWG, lokasinya di depan hotel Sultan,” kenang Dochi. “Waktu itu rombongan APWG lewat depan mata kami, mereka membuka celana, mengencingi kami sambil mengacungkan jari tengah. Kami hampiri dan akhirnya tawuran di pinggir jalan. Ada yang tertangkap dan kami interograsi tapi mereka tidak tahu alasan membenci kami, aneh. Mereka kebanyakan ikut-ikutan saja.”

Tekanan demi tekanan yang dihadapi oleh Pee Wee Gaskins akhirnya menimbulkan simpati dari para musisi lainnya. Para per-sonel Superman Is Dead, Shaggydog, Endank Soekamti hingga penyanyi solo Ari Lasso pun memberikan dukungan kepada mereka. Arian13-, vokalis Seringai di sebuah acara bahkan sempat berkata kalau para anggota Pee Wee Gaskins adalah: “The toughest motherfuckers around!”

0 komentar:

Posting Komentar